Ternak Sebagai Sumber Protein Hewani.
Disadari atau tidak sudah merupakan naluri manusia sejak awalnya memerlukan adanya sumber protein hewani disamping buah-buahan, serelia dan umbi-umbian dalam makanannya. Dalam perjuangan kehidupannya manusia sejak zaman purba telah melakukan perburuan dan memungut hasil tumbuhan untuk bahan pangan utama. Pada kehidupan “hunting and gathering” ini manusia perlu sumber protein hewani berasal dari hewan buruannya dan buah-buahan serelia sebagai sumber karbohidrat.
Dalam evolusi peradaban manusia, sumber protein ternyata mempunyai peranan dominan. Didaerah pantai dengan adanya perikanan (fishing and gathering) terdapat masyarakat yang lebih menetap, sehingga dikemudian hari menyebabkan suatu kehidupan sosial yang statis. Jika persediaan sumber perikanan terbatas mereka mengupayakan penangkapan ikan dalam batas-batas relatif dekat dengan tempat tinggalnya.Sifat ini sampai sekarang masih terlihat pada daerah pantai nelayan di Indonesia. Akibatnya masyarakat nelayan di Indonesia juga susah untuk mengembangkan perekonomiannya. Sebagai sumber karbohidrat lebih banyak mengandalkan umbi-umbian dan labu. Sampai sekarang nelayan Indonesia dapat dikelompokkan kepada “very lowest low income group”.
Pada masyarakat yang sumber proteinnya dengan berburu (hunting and gathering), mereka lebih mobil dan mudah pindah dari satu tempat kelokasi lain. Masyarakat ini lebih dinamis dan dengan ditemukannya tanaman biji-bijian telah merubah kehidupannya menjadi menetap pada berbagai tempat. Menurut Linores et al (1975) dalam perkembangan berikutnya, ternyata tanaman biji-bijian inilah yang memungkinkan munculnya peningkatan teknologi pertanian.
Gabungan konsumsi sumber protein dan karbohidrat ini menjadi sumber kalori guna menopang kehidupan manusia. Sampai tahun 1966, konsumsi sereal secara langsung dan tidak langsung (melalui makanan ternak dan ternaknya yang dimakan manusia pada berbagai negara, seperti pada Tabel 2.1 (Brown dan , Eckholn,1977).
Dengan naiknya pendapatan maka terdapat kecenderungan produk peternakan; daging, telur dan susu makin banyak dikonsumsi. Di Amerika Serikat sejak 1910-1950 konsumsi daging 60 lbs/kapita/tahun, tetapi tahun 1972 naik dari 63 lbs menjadi 116 lbs. Konsumsi daging ayam Amerika Serikat 1910-1940 kira-kira 16 lbs/orang/tahun, tetapi sejak 1940 naik menjadi 50 lbs. Kenaikan ini adalah karena daging ayam lebih murah dan adanya efisiensi produksi disamping adanya kesadaran kholesterol yang tinggi pada daging sapi dan babi. Konsumsi susu mencapai 900 lbs/kapita/tahun, dan menurun menjadi 555 lbs akhir-akhir ini karena perubahan preferensi konsumen dengan adanya “coffee snack”. Begitu pula konsumsi telur yang telah mencapai 400 butir/tahun.
Tabel 2.1. Konsumsi Sereal Diberbagai Negara (lb/kapita) 1966.
Negara
|
Sereal langsung
|
Melalui Makan Ternak
|
Total Sereal
|
Konsumsi berapa kali India
|
Kanada
Amerika Serikat
Uni Soviet
Inggris
Argentina
Jepang
China
India |
202
200
344
169
223
320
312
288
|
1.791
1.441
883
856
625
211
118
60
|
1.993
1.641
1.227
1.025
848
531
430
348
|
5
5
4
3
2
2
1
1
|
Indonesia diperkirakan setara dengan India.
Di Argentina dan Australia konsumsi daging mencapai 250 lbs/kapita/tahun; Perancis, Jerman Barat 200 lb dan Inggris 170 lb. Didaerah negara berkembang konsumsi baru mencapai 5-20 lbs/kapita/tahun. Demikianlah dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan (sadar gizi) maka konsumsi daging ternak mencapai 200-250 lbs/kapita/tahun, kemudian stabil. Dinegara berpendapatan rendah orang makan telur tidak lebih dari 2 butir sebulan.
Pembangunan Indonesia umumnya dan pembangunan peternakan khususnya, selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I telah berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, meliputi lapangan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan gizi masyarakat. Pembangunan dalam Repelita VI dan PJP II yang dilaksanakan akan memberikan peluang dan harapan untuk mengejar ketinggalan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dibandingkan bangsa lain yang telah lebih maju.
Sejak awal, manusia purba melakukan perburuan, penangkapan ikan guna memenuhi kebutuhan akan protein hewani dalam makanannya, disamping memungut hasil hutan sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, serta mineral. Disadari bahwa protein hewani mutlak diperlukan dalam makanan, karena tubuh memerlukan asam-asam amino esensial yang tidak bisa disintesis oleh tubuh, sehingga menjadikan protein hewani bernilai hayati tinggi.
Ciri khas dari protein hewani adalah lengkapnya asam-asam amino esensial yang dikandungnya, dan tinggi nilai hayatinya. Biological Value mencerminkan beberapa banyak zat N dari suatu protein dalam pangan yang dapat dimanfaatkan tubuh untuk sintesis protein tubuh dan bagian-bagiannya. Dari semua bahan pangan, telur memiliki nilai hayati paling tinggi (94-100). Semua protein asal ternak hewani mempunyai nilai hayati di atas 80 (Hardjosworo dan Levine, 1987).
Dilaporkan oleh Campbell dan Lasley (1985) bahwa nilai hayati protein ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensialnya. Protein hewani jauh lebih komplek daripada protein nabati (jagung), diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Persentase Asam Amino Hasil Ternak dan Jagung (%-/100 gram protein)
Asam Amino
|
Daging
|
Babi
|
Ayam
|
Susu
|
Telur
|
Jagung
|
Anginin*
Sistin
Histidin*
Isoleusin*
Leusin*
Lisin*
Metionin*
Penilalanin*
Threonin*
Triptofan*
Tirosin
Valin* |
6,4
1,3
3,3
5,2
7,8
8,6
2,7
3,9
4,5
1,0
3,0
5,1
|
6,7
0,9
2,6
3,8
6,8
8,0
1,7
3,6
3,6
0,7
2,5
5,5
|
6,7
1,8
2,0
4,1
6,6
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
|
4,3
1,0
2,6
8,5
11,3
7,5
3,4
5,7
4,5
1,6
5,3
8,4
|
6,4
2,4
2,1
8,0
9,2
7,2
4,1
6,3
4,9
1,5
4,5
7,3
|
1,8
0,8
1,2
4,3
23,7
0,0
2,3
6,4
2,2
0,2
5,9
1,9
|
Total
|
52,8
|
46,4
|
48,5
|
64,1
|
63,9
|
50,7
|
* Asam Amino Esensial
Belakangan terungkap bahwa protein asal ternak dan ikan sangat bertanggung jawab terhadap defisiensi mental pada anak balita. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak-anak prasekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi sub normal, bahkan defisiensi (Monckenberg, 1971).
Selain itu ternyata tidak hanya untuk kecerdasan, protein hewani sangat dibutuhkan untuk daya tahan tubuh sebagaimana dilaporkan oleh Shireki et al (1972), bahwa peranan protein hewani dapat menjauhkan pekerja keras dan atlit dari sport anemia dengan meningkatkan konsumsi protein hewani. Protein hewani juga berperan terhadap daya tahan butir darah merah sehingga tidak mudah pecah dan mempercepat regenerasi.
2. Konsumsi Protein Asal Ternak
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 220 juta jiwa tahun 2005, merupakan tantangan dan faktor dinamika yang penting. Apalagi kenaikan jumlah penduduk diiringi oleh naiknya pendapatan masyarakat dari US $70 tahun 1969 menjadi sekitar US $700 pada akhir PJP I. Akibatnya dalam pemenuhan akan pangan dan gizi, konsumsi keluarga mulai bergeser dari bahan nabati kebahan pangan hewani.
Widya Karya Pangan dan Gizi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menetapkan sektor peternakan hendaknya dapat memenuhi jumlah konsumsi empat gram protein asal ternak/kapita/hari yang setara dengan 6,0 kg daging, 4,0 kg telur dan 4,0 kg susu/kapita/tahun, walaupun target tersebut baru terpenuhi 71,25% pada 1989. Seterusnya Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1993 mentargetkan penduduk Indonesia mengkonsumsi energi 2100 kkal / kapita / hari dan konsumsi protein asal
ternak 6,0 gram/kapita/hari.
Perkembangan konsumsi daging, telur dan susu sejak tahun 1969-1994 diperlihatkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Perkembangan Konsumsi Daging, Telur dan Susu Tahun 1969-1994.
Komoditi
|
1969
|
1989
|
1994
|
Kenaikan %/tahun
|
Konsumsi/tahun/ribu ton
Daging
Daging dalam negeri
Daging Impor
Konsumsi/kapita/tahun (kg)
Daging
Telur
Susu
Konsumsi/kapita/hari (gr)
Daging
Telur
Susu |
311.4
309.3
2.1
2.7
0.23
1.46
1.2
0.10
0.10
|
973.1
971.1
2.0
5.69
2.12
3.72
1.8
0.72
0.33
|
1483.6
1469.2
14.4
7.78
2.67
4.58
2.52
0.85
0.4
|
9,33
9,18
58,40
6,9
6,25
4,07
7,51
4,83
3,74
|
Jumlah
|
1.40
|
2.85
|
3.77
|
6,27
|
Ternyata konsumsi protein hewani asal ternak masih cukup rendah, yaitu 3,77 gr/kapita/hari atau 87% dari target normal gizi 4,5 gr/kapita/hari. Bandingkan dengan ASEAN yang telah mencapai 15 gr/kapita/hari. Pemerataan konsumsi protein asal ternak memperlihatkan kesenjangan yang cukup besar. Jumlah penduduk yang telah mencapai norma gizi 4,5 gr/kapita/hari barulah 18%, 78% masih dibawah 4,5 gr, sedangkan sekitar 4% penduduk hampir tidak pernah mengkonsumsi protein asal ternak. Adanya ketidakmerataan ini menyebabkan perlunya dua pola pemenuhan gizi; melalui sadar pangan dan gizi serta penyuluhan gizi seimbang bagi yang telah berlebihan. Menurut Tangendjaya (2002) konsumsi daging pada tahun 2002 telah mencapai 7,5 kg/kapita, telur 5,9 kg/kapita dan susu 6,2 kg/kapita, ini ditopang oleh peningkatan produksi daging 2 %, babi 3 % dan ayam 6,4 % / tahun. Saat ini daging ayam
memberikan konstribusi 56%, sapi 23% dan babi 13%.
Menurut Hardjosworo dan Levine (1987) ada beberapa sebab kesulitan mencapai standar gizi bagi masyarakat Indonesia, yakni;
1) Mahalnya harga pangan yang berasal dari produk ternak diukur dari pendapatan masyarakat Indonesia. Mata rantai produksi hasil ternak jauh lebih panjang daripada produksi nabati sebelum sampai ketangan konsumen. Ternak memerlukan bahan makanan sebelum menghasilkan produknya. Untuk itu diperlukan pakan yang mesti ditanam atau dibeli terlebih dahulu. Apalagi untuk ternak impor, dimana kebanyakan pakan masih impor (tepung ikan, bungkil kedele, jagung dan lainnya). Sedangkan ternak lokal (ayam buras, sapi dan kerbau) masih rendah efisiensinya.
2) Tidak tersedianya produk ternak (daging, susu dan telur) diseluruh pelosok Indonesia. Komoditi ini lebih menumpuk disekitar kota, tetapi ditempat yang jauh kurang tersedia. Selain itu adanya jurang antara pendapatan dan preferensi konsumen kota dengan desa. Adanya kenyataan sulitnya transportasi antar kepulauan juga mempersulit pengadaan hasil ternak sampai ketangan konsumen.
3) Masih terbatasnya produksi hasil ternak Indonesia, baik daging, susu atau telur. Sampai sekarang untuk keperluan daging dan susu masih memerlukan impor yang memerlukan devisa tidak sedikit. Untung hal ini sudah agak teratasi oleh produksi unggas, tetapi tetap memerlukan impor pakan ayam. Ayam buras dan itik hampir menyebar merata keseluruh pelosok Insonesia.
4) Faktor keempat adalah selera selektif konsumen terlepas dari faktor agama. Karena faktor kesukaan, banyak konsumen tidak bisa beralih mengkonsumsi ayam ras, tetapi ayam kampung. Demikian pula introduksi ternak non konvensional (kelinci, rusa, puyuh) kurang tersosialisasi. Dibandingkan dengan negara barat yang telah maju ekonominya, mereka memiliki variasi yang luas akan produk peternakannya.
Kendati produk peternakan relatif lebih mahal dibandingkan produk nabati, tetapi pada hakekatnya jika ditinjau dari availabilitas asam amino esensial protein hewani relatif jauh lebih menguntungkan dibandingkan sumber protein nabati yang kaya akan protein, seperti dilaporkan oleh Campbell dan Lasley (1985).
Tabel 2.4. Jumlah Hari Yang Diperlukan Untuk Memproduksi Sejumlah Setara Asam
Amino Esensial Dari 1 Acre Lahan Dari Beberapa Bahan Pangan.
Bahan Pangan
|
Hari yang dibutuhkan
|
1. Daging sapi
2. Daging babi
3. Daging ayam
4. Susu
5. Corn flakes
6. Oat meal
7. Rye flour
8. Wheat flour (putih)
9. Beras
10. Beras merah
11. Jagung kuning
12. Wheat flour (penuh)
13. Kacang/bean
14. Pea, split
15. Kacang kedele |
77
129
185
236
354
395
485
527
654
772
773
877
1.116
1.785
2.220
|
Tabel 2.4. memperlihatkan betapa jauh lebih cepat waktu yang diperlukan untuk memproduksi asam amino dari sumber ternak dibandingkan dari produk tumbuhan. Apalagi jika produk tanaman tersebut mengandung anti protease seperti kebanyakan sumber kacang-kacangan.
Diantara produk ternak itu sendiri, maka terlihat bahwa produksi susu (sapi perah) relatif sangat efisien dalam pemanfaatan sumber energi, baik energi matahari maupun energi dari makanan untuk menjadi produk sebagaimana dilaporkan oleh Hodgson (1971) pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Konversi Energi, Protein dan Makanan Terhadap Produksi Ternak (%).
Produksi Ternak
|
Konversi Energi
|
Konversi Protein
|
Persentase Produk/ intake makanan
|
Susu
Ayam Broiler
Telur Ayam
Daging Babi
Kalkun
Daging Sapi
Daging Kambing/domba |
20
10
15
15
10
8
6
|
30
25
20
20
20
15
10
|
90
45
33
30
29
10
7
|
3. Produksi Protein Asal Ternak
Perkembangan produksi daging rata-rata 9,2%, telur 6,95% dan susu 3,4% sampai akhir Pelita V (Tabel 2.3), ternyata belum mampu memenuhi target konsumsi di atas. Pada tahun 1989, Indonesia mengimpor daging sapi sebanyak 2000 ton, yang naik menjadi 14.000 ton pada tahun 1994, dan impor 365,2 ribu ton susu, setara susu segar pada tahun 1989 yang naik menjadi 544,4 ribu ton pada tahun 1994. Naiknya kebutuhan daging impor untuk memenuhi kebutuhan perhotelan/turisme yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi juga disebabkan oleh turunnya produksi ternak sapi, kerbau dan kambing (1993).
Konstribusi produksi daging pada awal Pelita I didominasi oleh
ternak ruminansia, yaitu 76,1%, non ruminansia 11,23% dan unggas 13,67%. Keadaan ini berubah menjadi 40,26% asal ruminansia, 14,18% non ruminansia dan 45,56% unggas pada tahun 1989 dan peranan unggas semakin nyata dalam mensuplai daging menjadi 59,6% pada tahun 1994, sedangkan daging ruminansia turun sampai 26,43% (Dirjen Peternakan, 1994). Pada awal Pelita I produksi telur asal ayam buras 53,55%, ayam ras petelur 7,27% dan itik 39,17%, maka dewasa ini telah berubah menjadi 16,64% ayam buras, 61,35% ayam ras, dan 22% telur itik. Keberhasilan peningkatan konsumsi walaupun belum memenuhi target dan kenaikan produksi asal ternak didukung oleh peningkatan populasi ternak itu sendiri seperti Tabel 2.3. Guna melihat peranan masing-masing ternak terhadap perkembangan populasi disajikan populasi ternak Indonesia dalam satuan ternak (Tabel 2.6 dan 2.7), dan dari kedua tabel ini dapatlah dilihat seberapa besarnya ketimpangan antara kebuhan dan produksi yang terjadi.
Tabel 2.6. Produksi Daging, Telur dan Susu 1969-1994.
Komoditi
|
1969
|
1989 (ribu ton)
|
1994
|
Kenaikan %/ tahun
|
Daging
Telur
Susu |
309.3
57.5
28.9
|
971.1
456.2
338.2
|
1469.2
580.2
338.6
|
9,2
6,95
3,47
|
Pengelompokan ternak menurut sifat fisiologisnya pada awal PJP I ialah 11.3 juta Satuan Ternak (ST) dengan struktur; 78% ruminansia, 10% non ruminansia dan 12,9% unggas. Sampai akhir PJP I meningkat tiga kali , yaitu 32.4 juta ST dengan perubahan struktur; ruminansia 41,2%, non ruminansia 6,6% dan unggas 52,2% ST.
Tabel 2.7. Populasi Ternak Indonesia 1969-1994 (ribu ekor).
Jenis Ternak
|
1969
|
1994
|
Kenaikan/tahun (%)
|
Ruminansia:
Sapi potong
Sapi perah
Kerbau
Kambing
Domba
Non Ruminansia:
Babi
Kuda
Unggas:
Ayam buras
Ayam ras petelur
Ayam pedaging
Itik |
6.447
52
2.940
7.544
2.908
2.875
642
61.788
688
7.200
|
11.010
330.
3.109
11.586
6.485
9.010
585
229.911
54.950
502.786
27.277
|
1,82
3,4
1,23
1,2
1,37
5,85
-3,71
3,8
7,08
19,17
2,38
|
Sumber: Dirjen Peternakan (1995
Sasaran pembangunan pertanian dalam PJP II ialah terciptanya sektor pertanian yang maju, efisien dan tangguh. Hal ini didasarkan oleh meningkatnya peranan sektor pertanian dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, terpenuhinya kebutuhan akan pangan, meningkatnya daya beli dan naiknya kemampuan penyediaan bahan baku untuk industri. Pada sisi lain ialah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat pertanian, penguasaan IPTEK dan keterpaduan sektor pertanian dengan sektor industri, jasa serta beralihnya kegiatan pertanian menuju agroindustri dan agribisnis.
Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertanian maka dalam Repelita VI sektor pertanian diperkirakan tumbuh rata-rata 3,4%/tahun. Untuk mencapai pertumbuhan 3,4%/tahun diharapkan pertumbuhan tanaman pangan dan hortikultura 2,5%, peternakan 6,4%, perkebunan 4,2% dan perikanan 5,2%/tahun. Sasaran penyerapan tenaga kerja 1.9 juta orang. Namun demikian sumbangan sektor pertanian terhadap PDB akan turun dari 20,2% pada tahun 1993 menjadi 17,6% pada tahun 1998.
Perkembangan peternakan selama PJP I tidak hanya meningkatkan populasi, tingkat konsumsi protein asal ternak dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga telah mampu meningkatkan produktivitas dan efisiensi ternak itu sendiri. Adanya program perbaikan mutu genetik melalui persilangan, impor bibit unggul, sapi bakalan, introduksi pakan unggul, konsentrat yang rasional, pencegahan penyakit ternak serta pengelolaan yang rasional dan belakangan pengelolaan telah pula mengarah pada agroindustri dan agribisnis telah mampu secara berangsur, namun pasti meningkatkan produktivitas ternak setiap tahunnya.
Efisiensi produksi daging ternak ruminansia meningkat dari 26.6 kg menjadi 40.39 kg/ST/tahun, kenaikan produktivitas 2,07% ternak non ruminansia naik sebesar 5,8% dari 34.41 kg menjadi 84.30 kg/ST/tahun, dan ternak unggas naik 2,18%/tahun, yaitu dari 26,70 kg/ST menjadi 41.27 kg/ST/tahun selama PJP I.
Meningkatnya efisiensi produksi daging ternak ruminansia disebabkan oleh berkembangnya usaha agribisnis sapi potong dengan bibit impor. Sampai tahun 1994 tiap tahunnya diimpor sapi bakalan sebanyak 80.000 ekor dengan nilai US $45.000.000/tahun. Selain itu juga karena meningkatnya peternak yang beralih usaha kepada usaha penggemukan sapi potong dengan pemeliharaan yang mengarah kepada agribisnis, sapi sepenuhnya dikandangkan secara ekonomis dengan pemberian konsentrat tinggi dan hijauan pakan bermutu. Tidak heran dewasa ini mulai dirasakan kesulitan akan sapi bakalan yang akan digemukkan sehingga terdapat trend kenaikan harga sapi dan daging sapi yang semakin tinggi tiap tahunnya.
Pada ternak non ruminansia, terutama babi terjadi peningkatan produktivitas yang sangat menonjol. Hal ini disebabkan berkembangnya peternakan babi yang berorientasi ekspor dengan bibit unggul impor. Sampai tahun 1994 rata-rata ekspor babi sebanyak 185.000 ekor tiap tahunnya. Keunggulan komparatif yang dimiliki babi sayangnya tidak bisa dimanfaatkan untuk konsumsi protein asal ternak rakyat Indonesia yang mayoritas pemeluk agama islam.
Meningkatnya efisiensi produksi daging unggas berasal dari ayam broiler yang berkembang sampai 12%/tahun pada akhir PJP I. selain naiknya populasi, secara teknis disebabkan oleh semakin efisiennya produksi ayam pedaging, dimana pada umur 7 minggu beratnya telah mencapai 3.050 gram dengan konversi 1,99.
4. Peranan Ternak Dibidang Pertanian
Selain sebagai sumber protein dan kalori tinggi yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat negara maju, selain memerlukan konsumsi pangan nabati, ternak dimanfaatkan dibidang pertanian antara lain sebagai, sumber tenaga kerja, pupuk, tabungan serta penambal resiko usaha tani.
5. Ternak Sebagai Sumber Tenaga Kerja
Inovasi pertanian yang sangat banyak menaikkan kapasitas produksi pangan adalah digunakannya hewan untuk mengolah tanah. Hal ini telah berlangsung setelah digunakannya irigasi sejak 3000 SM. Kemajuan baru ini telah memungkinkan penggunaan bagian-bagian makanan kasar (roughage) bentuk energi yang tidak dapat dicerna manusia, tetapi dapat dicerna oleh hewan menjadi produk ternak yang kemudian dapat dimakan manusia.
Pemakaian binatang tarik telah memperbesar tenaga otot manusia yang terbatas menjadi lebih besar untuk menghasilkan tanaman pangan. Dan bersamaan dengan penggunaan binatang tarik, munculah kota-kota tua (Brown dan Ekholn, 1977).
Kendati penggunaan mesin pertanian telah berkembang sampai batas-batas tertentu, ternak tetap digunakan sebagai tenaga tarik dan tenaga kerja ditanah pertanian (Indonesia, Laos, Thailand, Afrika dan India). Penggunaan sumber energi mesin tampaknya hanya efisien pada lahan yang luas, sedangkan rata-rata luas garapan petani di Asia dan Indonesia jauh dibawah 2 Ha perkeluarga. Penelitian oleh Inns (1980) di Tanzania membuktikan penggunaan tenaga kerja ternak jauh lebih menguntungkan dibandingkan traktor yang menghendaki paling sedikit lahan seluas 150 Ha. Potensi tenaga kerja manusia, ternak dan traktor 50 KW diperlihatkan pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8. Potensi Tenaga Kerja Manusia, Ternak dan 50 KW Traktor.
Uraian
|
Manusia
|
Kuda
|
Sapi
|
Keledai
|
Traktor 50 KW
|
Kecepatan (m/detik)
Tenaga (KW)
Jam Kerja (jam/hari)
Output Kerja (MJ) |
–
0,20
6
4
|
1,0
0,50
6
10
|
1,0
0,50
5
9
|
1,0
0,40
4
6
|
2,5
25
8,24
720-2.160
|
* 1 KW = 1,34 Horse Power
Selain kemampuan di atas, tenaga ternak bisa juga memberikan pupuk, anak dan dagingnya dalam bentuk “salvage value” sebesar 80%, sedangkan traktor memerlukan biaya perawatan, solar dan oli yang tinggi dengan masa pakai 5 tahun dan hanya menghasilkan salvage value 20%.
Penelitian Abbas dan Arifin (1990) didaerah transmigrasi Pasir Pangarayan Riau, memperlihatkan penggunaan tenaga kerja ternak sapi dapat meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja manusia dan meningkatkan serta pemerataan pendapatan petani/peternak.
Prestasi kerja ternak proyek P3TK-IFAD yang mempekerjakan sapi, pada Tabel 2.8 dan perbandingan output energi tenaga kerja pada Tabel 2.9.
Prestasi kerja seperti di atas ternyata dapat memperkecil energi kerja yang dikerahkan tenaga manusia terhadap produktivitas lahan. Perbandingan energi yang dihasilkan ternak dan manusia terhadap produktivitas lahan sekitar 1:4,6 Ha seperti terlihat pada Tabel 2.10. Angka ini sedikit lebih rendah dari prestasi kerja ternak sapi yang dilaporkan oleh Inns (1980), yakni sebesar 5 jam/hari.
Tabel 2.9. Prestasi Ternak Sapi P3TK- IFAD di Lokasi Transmigrasi Pasir
Pangarayan, 1987.
Uraian
|
Prestasi
|
Hari kerja setahun
Kemampuan garap per ekor/tahun
Jumlah jam kerja/hari
Kemampuan garap sepasang/hari
Kemampuan garap sepasang/tahun
Output kerja per hari (Mega Joule)
Kemampuan garap per ekor/hari |
30,64 hari
1,345 Ha
4,22 Jam
0,087 Ha
2,681 Ha
7,596 MJ*
0,0435 Ha
|
* Berdasarkan Inns (1980)
Tabel 2.10. Perbandingan Output Energi Kerja Ternak dan Manusia Terhadap
Uraian
|
Sapi
|
Manusia
|
Produktivitas lahan (Rp/tahun)
|
Usaha Tani Padi
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan
Usaha Tani Palawija
Hari kerja
Jam kerja
Output kerja/energi (MJ)
Perbandingan |
13,30
4,22
428,6
1
17,34
4,22
556,1
1
|
80,9
6,0
1.920,0
4,5
105,8
6,0
2.539,2
4,7
|
220.643,8
328.607,9
|
Jumlah
|
|
|
549.251,7
|
Produktivitas Lahan di Lokasi Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Dengan demikian sumbangan tenaga kerja ternak cukup berarti karena mampu menghemat pencurahan tenaga kerja keluarga untuk setiap hektar usaha tani, yakni; sebesar 31,9 HPK (hari kerja pria) untuk usaha tani padi dan 27,6 HKP untuk tanaman palawija. Hasil ini merupakan suatu bukti bahwa introduksi ternak kerja akan memberikan peluang kepada petani untuk mengalokasikan sisa waktu dan tenaganya, baik mobilitas keluar bidang usaha lain ataupun kedalam (kegiatan intensifikasi dan diversifikasi pemanfaatan lahan usaha tani).
Pengukuran dan pengamatan terhadap luas garapan, intensitas dan pola tanam menunjukkan adanya keunggulan yang cukup berarti bagi petani peserta P3TK-IFAD dibandingkan petani non proyek P3TK. Terlihat bahwa pemilikan satuan ternak sapi cenderung berbanding lurus dengan luas garapan, intensitas dan pola tanam.
Hasil prestasi di atas membuktikan bahwa; a) introduksi ternak kerja mampu meningkatkan optimalisasi pemanfaatan lahan usaha tani, b) adanya perubahan cara pemanfaatan lahan usaha tani bagi petani di lahan usaha I, dan c) petani cenderung mengusahakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Bila dibandingkan dengan laporan Departemen Pertanian (1985),
kenyataan di atas relatif lebih baik, sebab petani transmigran pada awal penempatannya mayoritas hanya mampu mengelola lahan pekarangannya dengan intensitas penanaman yang relatif rendah (frekuensi tanam dua kali setahun).
Analisis pendapatan yang diterima petani dengan pendekatan yang dikemukakan Hadisaputro (1973), menunjukkan bahwa pendapatan bersih (profit) usaha tani padi dan palawija, pendapatan petani usaha tani ternak dan pendapatan rumah tangga lebih tinggi pada petani peserta proyek P3TK-IFAD dibandingkan petani non peserta proyek. Perbedaannya berturut-turut tercatat sebesar 117,7%, 67,5% dan 38,8% sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2.11 dan 2.12.
Implikasi dari data di atas ialah; a) lahan usaha tani yang diperuntukkan untuk transmigrasi tidak lagi sekadar tempat memburuh (mengambil upah) bagi petani, b) usaha tani palawija memberikan sumbangan yang lebih besar daripada usaha tanaman lainnya (selain ternak) terhadap pendapatan keluarga tani, c) sumbangan bidang usaha tani-ternak adalah terbesar bagi pendapatan rumah tangga petani, dan d) pendapatan rumah tangga petani sudah termasuk kategori layak setara dengan nilai tukar beras menurut konsep Sayogio (Thee Kian Wie, 1983) seperti tampak pada Tabel 2.13.
Tabel 2.11. Rataan Pendapatan Petani di Lokasi Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987
(Rp).
Sumber Pendapatan
|
Kelompok Petani
|
Perbedaan
|
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
Padi
Palawija
Ternak
Usaha tani lainnya* |
129.622,0
261.449,2
205.400,4
105.727,8
|
98.721,0
139.888,3
61.204,4
120.303,3
|
31,3
88,2
235,6
13,5
|
Jumlah
|
702.199,4
|
419.117,0
|
67,5
|
* Hasil tanaman hortikultura dan tanaman tua dipekarangan.
Tabel 2.12. Rataan Pendapatan Petani dan Nilai Tukar Beras di Lokasi Transmigrasi
Pasir Pangarayan, 1987
Sumber Pendapatan
|
Kelompok Petani
|
Perbedaan (%)
|
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
Pendapatan rumah tangga (Rp/tahun)
Jumlah jiwa/KK
Pendapatan per kapita (Rp/tahun)
Nilai tukar beras*
(Kg/kapita/tahun) |
896.154,9
5,5
162.937,2
465,5
45,5**
|
645.633,6
4,7
137.368,8
392,5
22,7**
|
38,8
17,0
18,6
18,6
|
* Dikonversikan berdasarkan rataan harga beras didaerah penelitian (Rp. 350/kg).
** Persentase perbedaan dari nilai tukar beras sebesar 320 kg/kapita/tahun.
Tabel 2.13. Distribusi Pendapatan Petani dari Usaha Tani – Ternak di Lokasi
Transmigrasi Pasir Pangarayan, 1987.
Kelas Pendapatan
|
%tase Pendapatan Petani dari Usaha Tani-Ternak
|
P3TK-IFAD
|
Non P3TK-IFAD
|
Gabungan
|
10% Teratas
20% Tertinggi
20% Sedang
20% Rendah
20% Terendah
40% Bawah
Angka Gini Ratio |
22,3
34,5
23,4
19,2
14,5
8,4
22,9
0,244
|
23,6
40,4
22,9
16,5
12,5
7,7
20,2
0,303
|
24,9
39,0
24,5
17,6
11,8
7,1
18,9
0,306
|
*Dihitung berdasarkan kriteria Kuznets dan Wolrd Bank menurut Sigit (1980).
Selain dipekerjakan untuk mengolah lahan, ternak juga dipergunakan untuk hewan tarik, menarik gerobak pedati (sapi dan kerbau), menarik delman (kuda) dan juga menjadi kuda beban didaerah terpencil. Jadi terlihat bagi petani dengan lahan kecil, alternatif mekanisme pertanian kurang efektif dibandingkan penggunaan tenaga kerja ternak.
Sumbangan lain dari tenaga kerja ternak kerbau dilaporkan oleh Ilyas dan Laksmono (1995), bahwa seekor kerbau mampu membajak 1 Ha sawah dalam tempo 6,5 hari dan 1 Ha tanah kering dalam 10 hari. Pada era 1980-an, subsidi energi dari tenaga kerja kerbau lumpur dalam mengolah tanah pertanian di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Laos, Myanmar dan Thailand) mencapai 25% dari total energi yang dibutuhkan, jauh lebih besar dari subsidi mesin pertanian, yakni 8%.
6. Ternak Penghasil Pupuk
Selain manfaat ekonomis tenaga kerja, ternak (terutama ternak besar) juga menghasilkan pupuk. Dilaporkan dari 2,8 juta ekor kerbau di Indonesia saja dapat dihasilkan 4.305.000 ton/hari yang dapat digunakan untuk memupuk 340.000 Ha tanah pertanian dan meningkatkan produksi ± 30%, belum lagi dari 7 juta ekor sapi dan kuda.
Berbeda dengan penggunaan fertilizer (pupuk buatan) maka penggunaan pupuk ternak dapat mempertahankan tekstur dan struktur tanah. Dengan kata lain dengan adanya pupuk kandang, maka kerusakan lahan dapat dihindarkan, asal pupuk kandang diberikan secara rasional.
Dilaporkan oleh Aksi Agraris Kanisius (1978) potensi produksi pupuk dari berbagai ternak sebagai berikut:
Sapi perah 12 ton/ekor/tahun
Sapi potong 8,5 ton/ekor/tahun
Sepasang domba 6 ton/2 ekor/tahun
Sepasang babi 16 ton/2 ekor/tahun
Kuda 8 ton/ekor/tahun
Sepasang ayam 4,5 ton/2 ekor/tahun
Produksi ini hanya bisa dihasilkan oleh ternak yang dipelihara
secara insentif dalam kandang, sehingga penggunaan pupuk bisa terarah. Sebaliknya pada pemeliharaan ekstensif tentu saja semua pupuk dikembalikan ke tanah tanpa dikontrol penggunaannya dalam rangka menyuburkan lahan pertanian.
7. Peranan Ternak Lainnya Bagi Manusia
Selain pentingnya ternak untuk konsumsi daging, susu dan telur, masih terdapat sejumlah fungsi lain yang juga mempunyai peranan ekonomis; untuk peningkatan pendapatan/tabungan, kulit setelah disamak, tepung tulang, bahkan untuk obat-obatan, bahan industri, ternak percobaan dan sebagai hiburan/hobby (fancy breeding), fungsi sosial budaya untuk korban, perkawinan dan lainnya.
8. Ternak Sebagai Tambahan Penghasilan/tabungan
Adanya kemampuan ternak untuk merubah rumput dan limbah pertanian menjadi daging, susu dan tenaga, maka nilai tambah yang dihasilkannya bisa menjadi sumber pendapatan dan tabungan bagi petani/peternak. Biasanya petani membeli ternak setelah panen dan menjualnya kembali pada masa paceklik atau sewaktu memerlukan dana ekstra/tunai guna memenuhi hajatnya.
9. Sebagai Bahan Industri
Sebagai bahan industri, produk ternak juga penting artinya bagi manusia. Kulit yang telah disamak dipergunakan untuk sepatu, tas, jaket, cornet beef, wool, lem, gelatin dan tepung tulang. Bahkan insulin untuk pengobatan diabetes juga diektraksi dari pankreas sapi, babi dan kerbau.
10. Ternak Untuk Hewan Percobaan
Ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan, banyak ternak digunakan untuk hewan percobaan bagi penelitian ilmu kedokteran, farmasi dan biologi sebelum diaplikasikan kepada manusia. Terkenal dengan sebutan “kelinci percobaan” kendati tidak seluruhnya menggunakan kelinci tetapi bisa saja monyet, tikus, ayam dan lain-lain.
11. Ternak Untuk Fungsi Sosial
Dalam kehidupan sosial, hewan/ternak sering menjadi simbol status masyarakat, baik melalui upacara keagamaan, perkawinan dan pada masyarakat primitif untuk sesajian. Bahkan sampai sekarang banyak upaca kemasyarakatan yang memerlukan telur, ayam, babi, kambing dan sebagainya untuk kegiatan sosial tertentu
12. Ternak Untuk Rekreasi
Guna memenuhi fungsi hobby dan rekreasi, ternak kadangkala mempunyai nilai ekonomis yang jauh melebihi nilai produknya. Contohnya sapi karapan, kuda pacu, ayam sabung, dan tekukur mempunyai harga istimewa bagi penggemarnya. Dengan menggunakan ternak ini mereka merasa mendapat hiburan untuk menyenangkan jiwanya. Termasuk juga pemeliharaan ayam hias, ayam kokok tertentu (Ayam Pelung di Jawa dan Ayam Kokok Balenggek di Sumatera Barat). Jelaslah bahwa ternak telah menyatu dengan manusia sehingga fungsinya mulai dari kepentingan gizi, ekonomis, sosial dan hiburan.
PENDAPAT SAYA
Sejak semula sejalan dengan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan makanan, maka hewan ternak serta ikan telah dijadikan sumber protein dari energi disamping biji-bijian dan umbi-umbian untuk sumber karbohidrat.
Belakangan diketahui adanya asam amino esensial untuk memenuhi fungsi kelengkapan gizi. Ketiadaan/kekurangan asam amino (protein) dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan, keterbelakangan mental pada balita, sport anemia, dan terhambatnya regenerasi butir darah merah erythrocite).
Konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat Indonesia dewasa ini barulah mencapai ± 4 gr/kapita/hari jauh tertinggal dibandingkan bangsa lain di Asean yang mencapai lebih dari 15 gr/kapita/hari. Hal ini disebabkan, walaupun kesadaran gizi telah meningkat, namun keterbatasan pendapatan dan daya beli menjadi faktor utama sebagai penghambat. Dengan demikian sumber gizi merupakan fungsi utama ternak bagi manusia.
Peranan ternak yang menonjol terutama pada masyarakat di negara-negara berkembang adalah meningkatkan efisiensi tenaga kerja melalui pemanfaatan tenaga kerja ternak dalam mengolah lahan pertanian, berupa membajak, menarik, memompa dan untuk transportasi.
Terdapat sejumlah peranan ternak yang mempunyai nilai ekonomis yakni, penambahan pendapatan/tabungan, untuk bahan industri, hobby dan pemupukan modal serta hiburan. Dikehidupan sosial, ternak dapat meningkatkan status sosial pemiliknya, sebagai media hiburan dan lain sebagainya.
SUMBER ;
Click to access Peternakan.pdf